Tiga Pertanyaan Besar Manusia Hidup


Islam.id - Suatu ketika terjadi perdebatan antara seorang lelaki yang sedang berkuasa dengan Nabi Ibrahim as. Perdebatan itu terkait konsep tuhan. Nabi Ibrahim as memahami dan menyakini seyakin-yakinnya bahwa Penciptaannya dan juga pencipta alam semesta adalah tuhan yang bisa menghidupkan dan mematikan. Sang penguasa tak mau kalah. Dia mengklaim bahwa dia juga mampu menghidupkan dan mematikan, kendati dengan argumentasi (hujjah) yang tidak masuk akal. Dia memanggil dua orang yang satu di bunuh satu lagi di biarkan hidup.
Namun demikian, Ibrahim as tidak kalah jeli memilih argumentasi lain yang sangat kuat, cerdas, dan akurat dan tidak mungkin lagi dibantah oleh penguasa tersebut. Ibrahim berkata :

Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari arah timur, maka terbitlah dia (matahari) dari barat lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim. (Q.S. Al Baqarah, 2: 258)

   Dalam kehidupan ini, sering kita melihat kenyataan bahwa manusia mengingkari pencipta mereka seperti yang di ceritakan Al Qur'an di atas. ada yang mengingkari pencipta sambil mendeklarasi ke masyarakat bahwa mereka adalah tuhan yang patut disembah seperti halnya Namrud di zaman Nabi Ibrahim as. dan Firaun di zaman Nabi Musa as.

Namun ada pula yang mengingkarinya dengan malu-malu, berkedok ilmu pengetahuan seperti yang dilakukan Charles Darwin dan kaum evolusionis lainnya. ada lagi yang menolak eksistensi pencipta setengah-setengah dengan berkedok ideologi negara yang bernama nasionalisme. Mereka mengklaim nasionalisme itu lebih baik dari apa yang dirumuskan dan diciptakan Tuhan Pencipta mereka. Anehnya, manusia semacam ini tidak pula berani menolak keberadaan Tuhan dengan tegas dan secara total seperti yang dilakukan Namrud, Fir'aun, dan Charles Darwin.
Apapun bentuk penolakan tersebut sesungguhnya menunjukan sebuah realitas bahwa manusia memiliki sifat sombong, sok kuasa, tak tahu diri, serta lupa akan keagungan Pencipta mereka. Sifat-sifat tersebut telah mendorong manusia berlaku zalim dan berbuat kerusakan dalam kehidupan dunia yang sementara ini. Baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun terhadap lingkungan.
Kesombongan dan lupa diri telah pula menyebabkan mereka, yakni beribadah kepada sang pencipta sekaligus menjadi khalifah-Nya di atas bumi. Kewajiban yang ada di punggung mereka adalah menegakkan keadilan lewat sistem yang adil serta membangun kehidupan makmur sentosa.
Sesungguhnya, penolakan-bahkan kedurahkaan-terhadap sang Pencipta, (baik yang total maupun setengah-setengah, yang nekat maupun malu-malu) merupakan fenomena sepanjang masa. Iblis adalah makhluk pertama yang dikutuk oleh Allah karena tidak mau menjalankan perintah-Nya untuk sujud kepada Adam hanya dengan alasan sepele yaitu kebanggaan terhadap materi asal-usul penciptaan.


                       قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ

Artinya :
Iblis Berkata : "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah." (Q.S. Shaad, 38:76)

Sikap Iblis tersebut dipicu ketidakmatangan sekaligus ketidakseimbangan dirinya secara spiritual, emotional dan intellectual dalam mengedalikan hawa nafsu. itu membuat ia enggan melaksanakan perintah Penciptanya dan menyombongkan diri di hadapan aturan main Penciptanya sehingga dinyatakan bersalah.
Namun, ada perbedaan mendasar dalam proses pelanggaran antara Adam dan Iblis. Adam dengan mudah mengakui kesalahan dan kelemahan-nya ketika ditegur dan diingatkan Allah. Kesalahannya disebabkan kelalaian dan ketergiurannya terhadap godaan dan tipuan setan.
Kesalahan Adam bukan bermuara pada sifat sombong dan angkuh. Sedangkan iblis tidak mau mengakui kesalahannya karena kesombongannya dan keangkuhan yang ia pelihara. Dia menolak perintah Allah dengan mencari-cari alasan dan membangun persepsi keliru (tidak ilmiah) bahwa api sebagai unsur penciptaannya (raw material) lebih baik daripada tanah yang menjadi unsur penciptaan Adam.
Pengalaman Spiritual, emotional dan intellectual manusia sepanjang sejarah selalu ditandai dengan penolakan atau penerimaan eksistensi Tuhan dan konsekuesi logis dari kemutlakan (absoluteness) penerimaan itu, yakni ibadah dan ketaatan kepada-Nya.
Tidak ada corak dan warna lain yang menonjol dalam penolakan dan dasarnya, sikap hidup manusia hanya bergerak antara dua pilihan : menolak atau menerima kenyataan konsep tuhan,. Sejak zaman prasejarah sampai zaman modern yang disebut serbacanggih seperti yang kita saksikan hari ini, pilihannya hanya bergerak antara dua sikap itu. Ada yang menolak (durhaka) total, ada yang menerima (taat) total. kendati kadangkala yang terbanyak ialah mereka yang serbabingung , serba tidak jelas pilihannya, serba setengah-setengah, namun tetap masih berada dalam kategori mereka yang menolak dan durhaka.
Kalau kita ceramati mengapa manusia berani menolak eksistensi Tuhan, baik secara total maupun setengah-setengah, niscaya kita akan menemukan akar permasalahannya. Akar permaslahannya berasal dari sifat sombong dan lalai serta mudah tergiur oleh setan dan kenikamatan dunia yang amat menyenangkan. lalu timbul pertanyaan, bagaimana cara menghindarkan diri dari sifat - sifat negatif tersebut? Kesombongan, Kelalaian, dan mudah tergiuroleh setan dan kelap-kelip kehidupan dunia dapat dinetralisasi dengan tiga pertanyaan besar berikut ini :
1. Dari mana saya berasal dan berawal?
2. Sedang apa dan mau apa saya di dunia ini? apa visi dan misi hidup di dunia ini?
3. Mau ke mana saya setelah meninggalkan kehidupan dunia yang fana ini?

Tiga pertanyaan besar tersebut selalu menjadi pertanyaan yang menarik sepanjang sejarah manusia dan akan tetap menjadi kata kunci dalam menyingkap tabir penolakan dan penerimaan tentang konsep Tuhan. sebab, ketiga pertanyaan tersebut menjadi mesin utama yang akan menggerakan tiga kecerdasan manusia, yakni spiritual, emotional, dan intellectual. tiga potensi ini berguna untuk mendalami dan menghayati tiga hakikat besar pula :
1. Hakikat Tuhan;
2. Hakikat manusia dan alam semesta;
3. Hakikat kehidupan dunia;.

Oleh sebab itu, kebaikan dan keburukan yang timbul dari dalam diri manusia yang kemudian menjelma ke dalam perilaku dan tindakan sehari-hari sangat erat kaitannya dengan sejauh mana pengetahuan dan penghayatan mereka terhadap ketiga hakikat besar di atas.
Dengan kata lain, pengenalan dan penghayatan seseorang terhadap hakikat Tuhan , manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia ini menentukan persepsi yang terbangun di dalam dirinya. persepsi tersebut akan mewarnai perilaku seseorang dalam menjalani kehidupan dunia yang singkat ini.


Allah : Tuhan pencipta
 manusia dengan
misi ibadah 
dan 
visi khalifah di atas bumi.

Related : Tiga Pertanyaan Besar Manusia Hidup

0 Komentar untuk "Tiga Pertanyaan Besar Manusia Hidup"